Mungkin para pembaca pernah memperhatikan bahwa hampir seluruh rumah adat tradisional di Nusantara ini menggunakan material kayu. Dan meskipun masih menggunakan bahan lain seperti bambu, rotan, atau ijuk, sebenarnya bahan tersebut biasanya hanya digunakan sebagai material penlengkap saja, dan bukan sebagai material utama.
Alasan yang paling masuk akal, yang paling banyak dikemukakan oleh para ahli sejarah, adalah karena material kayu adalah bahan yang paling banyak terdapat di daerah Nusantara ini, sehingga menjadikan kayu sebagai bahan yang paling murah dan paling mudah untuk didapatkan. Lagi pula dengan banyak hidup di sekitar hutan, maka masyarakat kita juga akan lebih familiar dengan berbagai produk olahan dari kayu, bahkan mereka juga sudah terbiasa dengan proses pengolahan kayu.
Sebenarnya penggunaan material yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat, sebagai bahan untuk membuat rumah tinggal, tidak hanya dilakukan oleh masyarakat di Nusantara. Tetapi, beberapa bangsa lain di dunia juga melakukan hal yang sama seperti itu.
Misalnya saja, bangsa Mesopotamia di lembah sungai Eufrat dan Tigris, karena hutan mereka sedikit, dan mereka hidup di tepi sungai besar, maka jumlah lumpur sungai di sana sangat melimpah, sehingga rumah-rumah di sana dibangun dengan menggunakan bahan dari batu bata tanah liat.
Atau contoh lain, misalnya rumah milik suku Eskimo di Kutub utara, karena di sana tidak ada kayu dan tanah liat, maka rumah Iglo mereka dibangun dengan menggunakan balok es. Alasannya sama seperti rumah di daerah lain, karena es adalah bahan yang paling mudah ditemukan di daerah Kutub.
Jika saya boleh menghubungkan dengan kondisi masyarakat kita sekarang ini, maka sebenarnya kita juga masih mewarisi sikap seperti nenek moyang kita dulu. Yaitu dalam membangun rumah kita akan cenderung untuk menggunakan material yang banyak terdapat di sekitarnya, hal ini pastinya juga akan berimbas pada harga material tersebut yang akan cenderung lebih murah, dari pada material yang didatangkan dari daerah lain.